Selasa, 11 Desember 2012

PROFIT / PREMI VERSUS SUMBER DAYA MANUSIA

Menurut pendapat Eileen Rachman & Sylvina Savitri dalam tulisannya berjudul: Manusia : Aset atau Biaya? :
Bila dalam perusahaan ada wacana mengenai cost center dan profit center, beberapa divisi tentu akan merasa sedikit kecil hati, karena dianggap sebagai cost center dan bukan ‘breadwinner‘ perusahaan. Misalnya saja, divisi IT yang hampir  eksis  di setiap perusahaan, meskipun “jasa”-nya tidak sedikit, biasanya dianggap sebagai “orang belakang”, karena kontribusinya tidak langsung terlihat dalam mencetak keuntungan. Bagaimana dengan divisi sumber daya manusia? Jelas-jelas dalam neraca, ‘cost’ terbesar dari perusahaan adalah gaji. Bahkan, tak jarang biaya sumber daya manusia bisa mencapai 65% dari keseluruhan biaya perusahaan. Tentunya tidak mungkin biaya-biaya pengembangan sumberdaya manusia, mulai dari gaji, rekutmen, training dan fasilitas karyawan dimasukkan dalam ‘profit center’, bukan? Dengan kondisi ini, di mana letak HRD? Apakah lebih dipandang sebagai “beban”? Atau, sudah berperan sebagai “pahlawan” penggerak produktivitas? Dengan besarnya biaya yang dikelola oleh divisi HR, kita tentu berharap divisi ini bisa secara nyata memberi, bahkan melipatgandakan “keuntungan” yang telah dikeluarkan, bagi kemajuan individu dan pertumbuhan organisasi.
Di satu sisi, semua orang setuju bahwa “manusia adalah aset terbesar perusahaan”. Tanpa manusia, perusahaan tidak akan jalan. Mari kita evaluasi, apakah divisi HRD di organisasi kita sudah diperlakukan sebagai pusat strategi perusahaan? Apakah perusahaan meletakkan kebijakan dan strategi pengembangan sumber daya manusia di atas strategi dan manuver lain? Apakah dalam visi pimpinan perusahaan digambarkan tipe manusia dan perilaku manusianya di 10 tahun mendatangnya? Bagaimana bisa menjamin inovasi, pengembangan ketrampilan dan pengetahuan bila divisi SDM hanya dianggap sebagai divisi yang mengurus ketertiban, gaji dan kenaikan pangkat? Betapa kita sering mengalami, seorang yang sedang berada di kelas pelatihan, “dipaksa” meninggalkan kelas karena urusan ‘urgent’ menyangkut soal bisnis. Bukankah pelatihan juga sering dianggap sebagai upaya menghabiskan budget di akhir tahun  dan bukan sebagai upaya utama di awal tahun? Kita juga bisa melihat bahwa ketidakmampuan manajer untuk melakukan ‘coaching’ tidak dianggap sebagai hal yang krusial untuk diperbaiki dibandingkan dengan menghasilkan angka penjualan. Apa yang menyebabkan pernyataan dan  keyakinan bahwa “manusia adalah aset terbesar di perusahaan” sering tidak dibarengi dengan sikap terhadap pengembangan sumberdaya manusianya sendiri?
Manusia Pencipta “Values”
Sudah demikian banyak teori manajemen dan pemasaran yang menekankan pentingnya menciptakan ‘value’ dalam bisnis, bila kita tidak mau tergilas. Kita sendiri pasti juga menghargai betapa hasil pemikiran yang sekarang sering disebut sebagai ‘software’ dihargai dengan mahal. Sepintar-pintarnya  komputer, kita sendiri sangat sadar bahwa yang mengadakan inovasi dan manuver baru tetap manusia. Berarti manusia  adalah value-producing asset yang perlu menjadi fokus bisnis dan bukan dianggap sebagai beban. Ini tentu prinsip yang senantiasa perlu dipegang dan diterjemahkan dalam strategi, sistem, prosedur, inisiatif dan perilaku sehari-hari, tidak hanya oleh divisi SDM, tapi juga pimpinan perusahaan dan para manager. Kita pun perlu senantiasa mengecek dan mengevaluasi, apakah perusahaan dan HRD sudah berhasil menciptakan “values” dari manusia yang ada.
Kemampuan organisasi berkreasi, mencari jalan lain yang berbeda dengan yang ‘biasa’, hanya mungkin dilakukan oleh sumberdaya manusia yang ‘tidak biasa’. Inilah pekerjaan divisi Sumber Daya Manusia.  Para eksekutif di divisi SDM perlu tahu apa visi dan masa depan perusahaan dan sekaligus perlu sering memantau perkembangan kondisi manusia di lapangan, sehingga bisa membentuk dan mengasah manusia di organisasi, demi masa depan tersebut. Eksekutif SDM harus bisa membuktikan bahwa mereka betul-betul serius menjadi ‘strategic partner‘ yang paling utama dari manajemen puncak perusahaan. Berpikir strategis ke masa depan dan sekaligus menterjemahkan strategi ke dalam tindakan tindakan pengembangan yang efektif. Sudah tidak masanya lagi divisi SDM hanya berfokus mengurus administrasi personalia karyawan. Divisi HRD memang harus diisi oleh orang-orang yang profesional dan ahli, serta memiliki “passion” terhadap people dan juga bisnis, karena para ahli human capital ini perlu me-“re-engineer” business process dan aktif mendengarkan aspirasi karyawan, sehingga komitmen dan kapabilitas karyawan tersalur dengan positif.
Bukan “Embel-embel”
Bila ada karyawan bermasalah, baik itu kinerja maupun sikap kerjanya, tak jarang yang ditunjuk bertanggung jawab untuk menyelesaikan masalah ini adalah HRD, bukan? Berapa banyak orang yang masih berpandangan divisi HRD ibarat guru BP (Bimbingan Penyuluhan) yang ada di sebuah sekolah menengah? Jika HR masih semata dituntut untuk berkutat menterapi atau memberi rasa “comfort” kepada karyawan, tentu saja perusahaan akan segera memanen masalah, baik itu moral dan produktivitas, karena fungsi penting HR modern tidak dijalankan.
Perusahaan dan karyawan, perlu sadar bahwa divisi HRD tidak bisa hanya berpikir “here and now” saja, tapi perlu jeli untuk meramalkan kebutuhan manusia dalam menjawab tantangan bisnis berpuluh tahun ke depan. Dengan demikian, yang diciptakan bukan sekedar kekuatan sumber daya manusia, tetapi justru kekuatan intelektual  dan mental manusianya. Kita tahu, menurut Dave Ulrich, peran HR yang perlu diperkuat di organisasi adalah menjadi “change leader”. Namun, tentu saja HR sendiri pertama-tama perlu bisa menggerakkan dan menjalankan perubahan di tubuhnya sendiri lebih dulu. Bila dulu manajemen bisa dipuaskan dengan program-program training dan rekrutmen yang dikelola oleh divisi SDM, maka yang sekarang perlu dihasilkan adalah kekuatan hubungan interpersonal dan spirit manusianya. Bila dulu substansi yang digarap adalah disiplin, tunjangan atau remunerasi karyawan, di masa sekarang tuntutannya adalah mengelola mindset dan prespektif karyawan. Tanpa terobosan, cara-cara baru dan perubahan, mustahil peran ini bisa dimainkan dengan optimal. Bila divisi keuangan sering dianggap sebagai urat nadi perusahaan, kini saatnya divisi HRD membuktikan peran sebagai “otak” perusahaan dan bukan lagi sekedar beban dan embel-embel di perusahaan.
Dalam teori yang telah disampaikan sebelumnya, dapat diambil kesimpulan bahwa salah satu sumber daya yang penting dalam manajemen adalah sumber daya manusia atau human resources. Pentingnya sumber daya manusia ini, perlu disadari oleh semua tingkatan manajemen. Bagaimanapun majunya teknologi saat ini, namun faktormanusia tetap memegang peranan penting bagi keberhasilan suatu organisasi.  Keunggulan mutu bersaing suatu organisasi sangat ditentukan oleh mutu SDM-nya. Penanganan SDM harus dilakukan secara menyeluruh dalam kerangka sistem pengelolaan SDM yang bersifat strategis, integrated, interrelated dan unity. Organisasi sangat membutuhkan SDM yang kompeten, memiliki kompetensi tertentu yang dibutuhkan untuk menunjang keberhasilan pelaksanaan pekerjaannya.
Sumber daya perusahaan terdiri dari aset tangible maupun aset intangible seperti kemampuan, proses organisasi, atribut-atribut perusahaan, informasi dan pengetahuan. Sumber daya manusia (SDM) merupakan sumber pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang terakumulasi dalam diri anggota organisasi. Kemampuannya ini terus diasah oleh perusahaan dari waktu ke waktu dan perusahaan terus mengembangkan keahliannya sebagai pilar perusahaan agar selalu memiliki keunggulan kompetitif.
Setiap langkah perusahaan untuk mengembangkan diri dapat dengan mudah ditiru oleh perusahaan lain sehingga tidak mungkin terus menerus dipertahankan sebagai competitive advantage. Sebaliknya, SDM merupakan sumber keunggulan kompetitif yang potensial karena kompetensi yang dimilikinya berupa intelektualitas, sifat, keterampilan, karakter personal, serta proses intelektual dan kognitif, tidak dapat ditiru oleh perusahaan lain. Tak ayal dalam lingkup industri tertentu yang lukratif dan kompetitif akan diwarnai dengan bajak-membajak SDM untuk memacu keunggulan kompetitif perusahaan.
Sangat pentingnya kontribusi SDM sebagai salah satu faktor pendukung kesuksesan perusahaan amat disadari oleh para pimpinan puncak organisasi. Sehingga perusahaan dituntut untuk melakukan pengembangan berkesinambungan terhadap kuantitas dan kualitas "stok" pengetahuan mereka melalui pelatihan kepada SDM atau merangsang SDM-nya agar "learning by doing" dalam sebuah semangat yang termaktub dalam learning organization. Membangun kemampuan SDM yang didasari oleh kapasitas perusahaan untuk mempertahankan karyawannya, merupakan langkah awal dalam penciptaan aset SDM startegis. Namun langkah awal tersebut tergantung pada proses organisasi untuk mencetak SDM yang kompeten dan kemampuan perusahaan untuk merekrut individu-individu terbaik.
Kompetensi SDM yang ada di dalam organisasi tidaklah selalu sesuai dengan apa yang dituntut untuk keberhasilan sebuah pekerjaan. Tak dapat dipungkuri, ada juga organisasi yang cukup beruntung karena secara tidak sengaja memiliki SDM yang kompeten yang memiliki pengetahuan, keterampilan, sikap mental dan sosial yang sangat mendukung pengetahuan visi dan misi organisasi.
Tidak jarang pula organisasi memiliki SDM yang berasal dari berbagai macam sumber titipan yang seringkali merepotkan karena tidak dibarengi dengan keterampilan dan pengetahuan yang memadai. Atau, tuntutan perkembangan lingkungan tidak didukung dengan perkembangan kompetensi yang dihasilkan oleh institusi pendidikan sehingga selalu ada gap antara yang diharapkan dengan yang ada. Dengan demikian, organisasi mau tidak mau dituntut untuk dapat melakukan upaya sendiri dalam membangun kompetensi SDM-nya. Upaya ini secara kontiniu dilakukan mengingat situasi dan kondisi di dalam lingkungan senantiasa mengalami perubahan.
Organisasi harus berpijak dari visi dan misi perusahaan, yang kemudian diterjemahkan ke dalam strategi fungsional yang ada. Maksudnya, visi dan misi ini diterjemahkan ke dalam strategi pengelolaan SDM-nya, yang kemudian diterjemahkan menjadi tuntutan kompetensi SDM yang harus dipenuhi. Misalnya organisasi mempunyai visi untuk menjadi sebuah perusahaan kelas dunia, maka dalam strategi SDM-nya haruslah mendukung pengembangan kompetensi yang dapat membantu pencapaian visi menjadi kelas dunia . Mulai dari penerimaan karyawan baru, harus dibarengi dengan seperangkat persyaratan yang dapat membantu tersedianya SDM dengan kualitas kelas dunia.
Program-program pengembangan SDM-nya juga harus mencerminkan arah strategi tersedianya SDM berkualitas. Sistem kompensasi, karier, dan pemeliharaan SDM pun semuanya haruslah mencerminkan arah strategi perusahaan.
Selanjutnya, kompetensi SDM dipetakan agar lebih mudah dalam pengelolaannya. Pemetaan kompetensi ini akan merupakan rancangan kompetensi yang ingin dibangun organisasi, baik yang merupakan kompetensi inti maupun kompetensi pendukungnya.
Investasi SDM.
Menurut Hastarini Dwi Atmanti, Investasi di bidang sumber daya manusia adalah sejumlah dana yang dikeluarkan dan kesempatan memperoleh penghasilan selama proses investasi. Investasi ini berperan dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Investasi modal manusia melalui pendidikan di negara berkembang sangat diperlukan walaupun investasi di bidang pendidikan merupakan investasi jangka panjang secara malcro, manfaat dari investasi ini bare dapat dirasakan setelah puluhan tahun.
Investasi dapat dilakukan bukan saja pada fisik, tetapi juga pada bidang non fisik. Investasi fisik meliputi bangunan pabrik dan perumahan karyawan, mesin-mesin dan peralatan, serta persediaan (bahan mentah, barang setengah jadi, dan barang jadi). Investasi non fisik meliputi pendidikati, pelatihan, migrasi, pemeliharaan kesehatan dan lapangan kerja. Investasi non fisik lebih atau lebih dikenal dengan investasi sumber daya manusia adalah sejumlah dana yang dikeluarkan dan kesempatan memperoleh penghasilan selama proses investasi. Penghasilan selama proses investasi ini sebagai imbalannya dan diharapkan memperoleh tingkat penghasilan yang lebih tinggi untuk mampu mencapai tingkat konsumsi
yang lebih tinggi pula. Investasi yang demikian disebut dengan human capital (Payaman J. Simanjuntak, 1985). Istilah modal manusia (human capital) ini dikenal sejak tiga puluh tahun lalu ketika Gary S. Becker, seorang penerima Nobel di bidang ekonomi membuat sebuah buku yang berjudul Human Capital (Becker, 1964 dalam Agus Iman Solihin, 1995).
Setelah Theodore W. Schult dan ekonom lain mulai membahas dampak investasi sumber daya manusia bagipertumbuhan ekonomi barulah hal ini diperhatikan. Pembahasan mengenai masalah ini, hubungan investasi sumber daya manusia dengan produktivitas mulai santer terutama setelah munculnya Gary S. Becker dengan analisisnya mengenai Human Capital tersebut (Warsito Jati, 2002).
Sumber daya manusia sebagai salah satu faktor produksi selain sumber days alam, modal, entrepreneur untuk menghasilkan output. Semakin tinggi kualitas sumber days manuals, maka semakin meningkat pula efisiensi dan produktivitas suatu negara. Sejarah mencatat bahwa negara yang menerapkan paradigma pembangunan berdimensi manusia telah mampu berkembang meskipun tidak memiliki kekayaan sumber daya alam yang berlimpah.
Penekanan pada investasi manusia diyakini merupakan basis dalam meningkatkan produktivitas faktor produksi secara total. Tanah, tenaga kerja, modal fisik bisa saja mengalami diminishing return, namun ilmu pengetahuan tidak. Robert M. Solow menekankan kepada peranan ilmu pengetahuan dan investasi modal sumber daya manusia dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Dad teori Solow ini kemudian dikembangkan teori baru pertumbuhan ekonomi yang dikenal sebagai The New Growth Theory. (H. A. R. Tilaar, 2000)
Beberapa faktor yang menyebabkan perlunya mengembangkan tingkat pendidikan di dalam usaha untuk membangun suatu perekonomian, adalah :
1. Pendidikan yang lebih tinggi memperluas pengetahuan masyarakat dan mempertinggi rasionalitas pemikiran mereka. Hal ini memungkinkan masyarakat mengambil langkah yang lebih rasional dalam bertindak atau mengambil keputusan.
2. Pendidikan memungldnkan masyarakat mempelajari pengetahuan-pengetahuan teknis yang diperlukan untuk memimpin dan menjalankan perusahaan-perusahaan modern dan kegiatan-kegiatan modern lainnya.
3. Pengetahuan yang lebih baik yang diperoleh dari pendidikan menjadi perangsang untuk menciptakan pembaharuan-pembaharuan dalam bidang teknik, ekonomi dan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat lainnya.
Dengan demikian tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan dapat menjamin perbaikan yang terus berlangsung dalam tingkat teknologi yang digunakan masyarakat. Menyadari pentingnya peran pendidikan, maka dam tulisan ini akan dibahas mengenai investasi sumber daya manusia melalui pendidikan
Asumsi dasar teori Human Capital adalah bahwa seseorang dapat meningkatkan penghasilannya melalui peningkatan pendidikan. Setiap tambahan satu tahun sekolah berarti, di satu pihak, meningkatkan kemampuan kerja dan tingkat penghasilan seseorang, tetapi, di pihak lain, menunda penerimaan penghasilan selama satu tahun dalam mengikuti sekolah tersebut. Di samping penundaan menerima penghasilan tersebut, orang yang melanjutkan sekolah harus membayar biaya secara langsung. Maka jumlah penghasilan yang diterimanya seumur hidupnya, dihitung dalam nilai sekarang atau Net Present Value.
Telah diketahui bahwa peningkatan mutu modal manusia tidak dapat dilakukan dalam tempo yang singkat, namun memerlukan waktu yang panjang. Investasi modal manusia sebenamya sama dengan investasi faktor produksi lainnya. Dalam hal ini juga diperhitungkan rate of return (manfaatnya) dari investasi pada modal manusia. Bila seseorang akan melakukan investasi, maka ia harus melakukan analisa biaya manfaat (cost benefit analysis). Biayanya adalah berupa biaya yang dikeluarkan untuk bersekolah dan opportunity cost dari bersekolah adalah penghasilan yang diterimanya bila ia tidak bersekolah. Sedangkan manfaatnya adalah penghasilan (return) yang akan diterima di masa depan setelah masa sekolah selesai. Diharapkan dari investasi ini manfaat yang diperoleh jauh lebih besar daripada biayanya.
Investasi dalam bidang pendidikan memiliki banyak fungsi selain fungsi teknis ekonomis yaitu fungsi sosial-kemanusiaan, fungsi politis, fungsi budaya dan fungsi kependidikan. Dalam fungsi teknis ekonomis, pendidikan dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi (teori modal manusia). Orang yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi, diukur dengan lamanya waktu untuk sekolah akan memiliki pekerjaan dan upah yang lebih baik dibandingkan dengan orang yang pendidikannya lebih rendah. Apabila upah mencerminkan produktivitas, maka semakin banyak orang yang memiliki pendidikan tinggi, semakin tinggi produktivitas dan hasil ekonomi nasionalnya akan tumbuh lebih tinggi (Elwin Tobing, 2005).
Investasi pendidikan dalam fungsi sosial-kemanusiaan merujuk pada kontribusi pendidikan terhadap perkembangan manusia dan hubungan sosial pada berbagai tingkat sosial yang berbeda. Misalnya pada tingkat individual pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan dirinya secara psikologis, sosial, fisik dan membantu siswa mengembangkan potensinya semaksimal mungkin (Yin Cheong Cheng dalam Nurkolis, 2002).
Pendidikan mempunyai fungsi sebagai human resources yaitu mengembangkan kemampuannya memasuki era kehidupan baru seperti kompetitif dan employability (H. A. R. Tilaar, 2000).
Kesimpulan
Sumber daya manusia (SDM) atau human resources merupakan sumber daya yang sangat penting dan menentukan jalannya suatu organisasi. Untuk itu perlu dilakukan manajemen SDM, yang pada dasarnya menyangkut; pengadaan pekerja, pemeliharaan pekerja dan pengembangan pekerja. Adanya manajemen SDM diharapkan dapat meningkatkan prestasi kerja dan produktivitas kerja, keadaan ini akan dapat dipertahankan apabila diimbangi adanya sistem ganjaran (reward system). Untuk memperoleh SDM yang berkualitas, organisasi perlu senantiasa melakukan pengembangan pekerjanya melalui pendidikan dan pelatihan, baik yang berupa off the job side maupun on the job side. Dengan adanya pelatihan / peningkatan kualitas SDM atau yang telah kita bahas dengan istilah investasi di bidang SDM, akan membuat karyawan tersebut memiliki kemampuan yang lebih baik / bisa meng-explore dirinya sampai batas maksimal kualitas dirinya. Dan tidak heran apabila perusahaan biasanya sebelum melakukan investasi tersebut, terlebih dahulu mengadakan perjanjian ikatan dinas (yaitu: selama masa waktu tertentu karyawan yang ingin diberikan pelatihan dengan biaya ditanggung perusahaan) karena dengan meningkatnya kemampuan / kompetensi seseorang maka akan meningkatkan gaji/pendapatannya. Terkadang karena perusahaan tidak memberikan peningkatan gaji tersebut maka karyawan ini mencari penawaran yang lebih baik dari perusahaan lain. Inilah kendala / masalah yang dihadapi oleh Divisi SDM dalam melakukan investasi SDMnya di bidang pendidikan. Di satu sisi ingin meningkatkan pengetahuan dan kualitas kerja karyawan, di sisi lain harus mengeluarkan biaya yang tidak murah untuk investasi / memberikan pelatihan ini, juga masalah tuntutan untuk memberikan gaji/upah yang sesuai dengan kompetensi karyawan.
Sampai saat ini Perjanjian Ikatan Dinas merukan solusi yang baik, tetapi bukan solusi terbaik. Karena karyawan mungkin saja tidak risign / keluar / pindah ke perusahaan lain hanya karena ikatan tersebut (bukan karena loyalitas). Dan terkadang banyak juga karyawan yang bersedia membayar sanksi akibat melanggar ikatan dinas (biasanya berupa sanksi administratif membayar sejumlah uang) karena mendapatkan tawaran gaji yang lebih bagus dari perusahaan lain dan mungkin saja perusahaan pembajak ini berani untuk membayar sanksi yang harus dibayar oleh karyawan yang resign ini.
Reward and Punishment harus diterapkan di dalam perusahaan yang ingin SDMnya tidak hanya dianggap sebagai beban/biaya operasional perusahaan karena dengan adanya sistem Reward and Punishment, setiap pekerja / karyawan akan tertantang / termotivasi untuk bekerja dengan seluruh kemampuannya dengan lebih giat, benar dan loyal.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar