Menurut
pendapat Eileen Rachman & Sylvina Savitri dalam
tulisannya berjudul: Manusia : Aset atau Biaya? :
Bila dalam perusahaan ada wacana mengenai cost center dan
profit center, beberapa divisi tentu akan merasa sedikit kecil hati,
karena dianggap sebagai cost center dan bukan ‘breadwinner‘ perusahaan.
Misalnya saja, divisi IT yang hampir eksis di setiap perusahaan,
meskipun “jasa”-nya tidak sedikit, biasanya dianggap sebagai “orang
belakang”, karena kontribusinya tidak langsung terlihat dalam mencetak
keuntungan. Bagaimana dengan divisi sumber daya manusia? Jelas-jelas
dalam neraca, ‘cost’ terbesar dari perusahaan adalah gaji. Bahkan, tak
jarang biaya sumber daya manusia bisa mencapai 65% dari keseluruhan
biaya perusahaan. Tentunya tidak mungkin biaya-biaya pengembangan
sumberdaya manusia, mulai dari gaji, rekutmen, training dan fasilitas
karyawan dimasukkan dalam ‘profit center’, bukan? Dengan kondisi ini, di
mana letak HRD? Apakah lebih dipandang sebagai “beban”? Atau, sudah
berperan sebagai “pahlawan” penggerak produktivitas? Dengan besarnya
biaya yang dikelola oleh divisi HR, kita tentu berharap divisi ini bisa
secara nyata memberi, bahkan melipatgandakan “keuntungan” yang telah
dikeluarkan, bagi kemajuan individu dan pertumbuhan organisasi.
Di satu sisi, semua orang setuju bahwa “manusia adalah aset
terbesar perusahaan”. Tanpa manusia, perusahaan tidak akan jalan. Mari
kita evaluasi, apakah divisi HRD di organisasi kita sudah diperlakukan
sebagai pusat strategi perusahaan? Apakah perusahaan meletakkan
kebijakan dan strategi pengembangan sumber daya manusia di atas strategi
dan manuver lain? Apakah dalam visi pimpinan perusahaan digambarkan
tipe manusia dan perilaku manusianya di 10 tahun mendatangnya? Bagaimana
bisa menjamin inovasi, pengembangan ketrampilan dan pengetahuan bila
divisi SDM hanya dianggap sebagai divisi yang mengurus ketertiban, gaji
dan kenaikan pangkat? Betapa kita sering mengalami, seorang yang sedang
berada di kelas pelatihan, “dipaksa” meninggalkan kelas karena urusan
‘urgent’ menyangkut soal bisnis. Bukankah pelatihan juga sering dianggap
sebagai upaya menghabiskan budget di akhir tahun dan bukan sebagai
upaya utama di awal tahun? Kita juga bisa melihat bahwa ketidakmampuan
manajer untuk melakukan ‘coaching’ tidak dianggap sebagai hal yang
krusial untuk diperbaiki dibandingkan dengan menghasilkan angka
penjualan. Apa yang menyebabkan pernyataan dan keyakinan bahwa “manusia
adalah aset terbesar di perusahaan” sering tidak dibarengi dengan sikap
terhadap pengembangan sumberdaya manusianya sendiri?
Manusia
Pencipta “Values”
Sudah demikian
banyak teori manajemen dan pemasaran yang menekankan pentingnya
menciptakan ‘value’ dalam bisnis, bila kita tidak mau tergilas. Kita
sendiri pasti juga menghargai betapa hasil pemikiran yang sekarang
sering disebut sebagai ‘software’ dihargai dengan mahal.
Sepintar-pintarnya komputer, kita sendiri sangat sadar bahwa yang
mengadakan inovasi dan manuver baru tetap manusia. Berarti manusia
adalah value-producing asset yang perlu menjadi fokus bisnis dan bukan
dianggap sebagai beban. Ini tentu prinsip yang senantiasa perlu dipegang
dan diterjemahkan dalam strategi, sistem, prosedur, inisiatif dan
perilaku sehari-hari, tidak hanya oleh divisi SDM, tapi juga pimpinan
perusahaan dan para manager. Kita pun perlu senantiasa mengecek dan
mengevaluasi, apakah perusahaan dan HRD sudah berhasil menciptakan
“values” dari manusia yang ada.
Kemampuan
organisasi berkreasi, mencari jalan lain yang berbeda dengan yang
‘biasa’, hanya mungkin dilakukan oleh sumberdaya manusia yang ‘tidak
biasa’. Inilah pekerjaan divisi Sumber Daya Manusia. Para eksekutif di
divisi SDM perlu tahu apa visi dan masa depan perusahaan dan sekaligus
perlu sering memantau perkembangan kondisi manusia di lapangan, sehingga
bisa membentuk dan mengasah manusia di organisasi, demi masa depan
tersebut. Eksekutif SDM harus bisa membuktikan bahwa mereka betul-betul
serius menjadi ‘strategic partner‘ yang paling utama dari manajemen
puncak perusahaan. Berpikir strategis ke masa depan dan sekaligus
menterjemahkan strategi ke dalam tindakan tindakan pengembangan yang
efektif. Sudah tidak masanya lagi divisi SDM hanya berfokus mengurus
administrasi personalia karyawan. Divisi HRD memang harus diisi oleh
orang-orang yang profesional dan ahli, serta memiliki “passion” terhadap
people dan juga bisnis, karena para ahli human capital ini perlu
me-“re-engineer” business process dan aktif mendengarkan aspirasi
karyawan, sehingga komitmen dan kapabilitas karyawan tersalur dengan
positif.
Bukan “Embel-embel”
Bila ada karyawan bermasalah, baik itu kinerja maupun sikap
kerjanya, tak jarang yang ditunjuk bertanggung jawab untuk menyelesaikan
masalah ini adalah HRD, bukan? Berapa banyak orang yang masih
berpandangan divisi HRD ibarat guru BP (Bimbingan Penyuluhan) yang ada
di sebuah sekolah menengah? Jika HR masih semata dituntut untuk berkutat
menterapi atau memberi rasa “comfort” kepada karyawan, tentu saja
perusahaan akan segera memanen masalah, baik itu moral dan
produktivitas, karena fungsi penting HR modern tidak dijalankan.
Perusahaan dan karyawan, perlu sadar bahwa divisi HRD tidak
bisa hanya berpikir “here and now” saja, tapi perlu jeli untuk
meramalkan kebutuhan manusia dalam menjawab tantangan bisnis berpuluh
tahun ke depan. Dengan demikian, yang diciptakan bukan sekedar kekuatan
sumber daya manusia, tetapi justru kekuatan intelektual dan mental
manusianya. Kita tahu, menurut Dave Ulrich, peran HR yang perlu
diperkuat di organisasi adalah menjadi “change leader”. Namun, tentu
saja HR sendiri pertama-tama perlu bisa menggerakkan dan menjalankan
perubahan di tubuhnya sendiri lebih dulu. Bila dulu manajemen bisa
dipuaskan dengan program-program training dan rekrutmen yang dikelola
oleh divisi SDM, maka yang sekarang perlu dihasilkan adalah kekuatan
hubungan interpersonal dan spirit manusianya. Bila dulu substansi yang
digarap adalah disiplin, tunjangan atau remunerasi karyawan, di masa
sekarang tuntutannya adalah mengelola mindset dan prespektif karyawan.
Tanpa terobosan, cara-cara baru dan perubahan, mustahil peran ini bisa
dimainkan dengan optimal. Bila divisi keuangan sering dianggap sebagai
urat nadi perusahaan, kini saatnya divisi HRD membuktikan peran sebagai
“otak” perusahaan dan bukan lagi sekedar beban dan embel-embel di
perusahaan.
Dalam teori yang telah disampaikan sebelumnya, dapat diambil
kesimpulan bahwa salah satu sumber daya yang penting dalam manajemen
adalah sumber daya manusia atau human
resources. Pentingnya sumber daya manusia ini, perlu
disadari oleh semua tingkatan manajemen. Bagaimanapun majunya teknologi
saat ini, namun faktormanusia tetap memegang peranan penting bagi
keberhasilan suatu organisasi. Keunggulan mutu bersaing suatu
organisasi sangat ditentukan oleh mutu SDM-nya. Penanganan SDM harus
dilakukan secara menyeluruh dalam kerangka sistem pengelolaan SDM yang
bersifat strategis, integrated, interrelated dan unity. Organisasi
sangat membutuhkan SDM yang kompeten, memiliki kompetensi tertentu yang
dibutuhkan untuk menunjang keberhasilan pelaksanaan pekerjaannya.
Sumber daya perusahaan terdiri dari aset tangible maupun aset
intangible seperti kemampuan, proses organisasi, atribut-atribut
perusahaan, informasi dan pengetahuan. Sumber daya manusia (SDM)
merupakan sumber pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang
terakumulasi dalam diri anggota organisasi. Kemampuannya ini terus
diasah oleh perusahaan dari waktu ke waktu dan perusahaan terus
mengembangkan keahliannya sebagai pilar perusahaan agar selalu memiliki
keunggulan kompetitif.
Setiap langkah
perusahaan untuk mengembangkan diri dapat dengan mudah ditiru oleh
perusahaan lain sehingga tidak mungkin terus menerus dipertahankan
sebagai competitive advantage. Sebaliknya, SDM merupakan sumber
keunggulan kompetitif yang potensial karena kompetensi yang dimilikinya
berupa intelektualitas, sifat, keterampilan, karakter personal, serta
proses intelektual dan kognitif, tidak dapat ditiru oleh perusahaan
lain. Tak ayal dalam lingkup industri tertentu yang lukratif dan
kompetitif akan diwarnai dengan bajak-membajak SDM untuk memacu
keunggulan kompetitif perusahaan.
Sangat pentingnya kontribusi SDM sebagai
salah satu faktor pendukung kesuksesan perusahaan amat disadari oleh
para pimpinan puncak organisasi. Sehingga perusahaan dituntut untuk
melakukan pengembangan berkesinambungan terhadap kuantitas dan kualitas
"stok" pengetahuan mereka melalui pelatihan kepada SDM atau merangsang
SDM-nya agar "learning by doing" dalam sebuah semangat yang termaktub
dalam learning organization. Membangun kemampuan SDM yang didasari oleh
kapasitas perusahaan untuk mempertahankan karyawannya, merupakan langkah
awal dalam penciptaan aset SDM startegis. Namun langkah awal tersebut
tergantung pada proses organisasi untuk mencetak SDM yang kompeten dan
kemampuan perusahaan untuk merekrut individu-individu terbaik.
Kompetensi SDM
yang ada di dalam organisasi tidaklah selalu sesuai dengan apa yang
dituntut untuk keberhasilan sebuah pekerjaan. Tak dapat dipungkuri, ada
juga organisasi yang cukup beruntung karena secara tidak sengaja
memiliki SDM yang kompeten yang memiliki pengetahuan, keterampilan,
sikap mental dan sosial yang sangat mendukung pengetahuan visi dan misi
organisasi.
Tidak jarang
pula organisasi memiliki SDM yang berasal dari berbagai macam sumber
titipan yang seringkali merepotkan karena tidak dibarengi dengan
keterampilan dan pengetahuan yang memadai. Atau, tuntutan perkembangan
lingkungan tidak didukung dengan perkembangan kompetensi yang dihasilkan
oleh institusi pendidikan sehingga selalu ada gap antara yang
diharapkan dengan yang ada. Dengan demikian, organisasi mau tidak mau
dituntut untuk dapat melakukan upaya sendiri dalam membangun kompetensi
SDM-nya. Upaya ini secara kontiniu dilakukan mengingat situasi dan
kondisi di dalam lingkungan senantiasa mengalami perubahan.
Organisasi harus berpijak dari visi dan misi perusahaan, yang
kemudian diterjemahkan ke dalam strategi fungsional yang ada.
Maksudnya, visi dan misi ini diterjemahkan ke dalam strategi pengelolaan
SDM-nya, yang kemudian diterjemahkan menjadi tuntutan kompetensi SDM
yang harus dipenuhi. Misalnya organisasi mempunyai visi untuk menjadi
sebuah perusahaan kelas dunia, maka dalam strategi SDM-nya haruslah
mendukung pengembangan kompetensi yang dapat membantu pencapaian visi
menjadi kelas dunia . Mulai dari penerimaan karyawan baru, harus
dibarengi dengan seperangkat persyaratan yang dapat membantu tersedianya
SDM dengan kualitas kelas dunia.
Program-program
pengembangan SDM-nya juga harus mencerminkan arah strategi tersedianya
SDM berkualitas. Sistem kompensasi, karier, dan pemeliharaan SDM pun
semuanya haruslah mencerminkan arah strategi perusahaan.
Selanjutnya, kompetensi SDM dipetakan agar lebih mudah dalam
pengelolaannya. Pemetaan kompetensi ini akan merupakan rancangan
kompetensi yang ingin dibangun organisasi, baik yang merupakan
kompetensi inti maupun kompetensi pendukungnya.
Investasi SDM.
Menurut
Hastarini Dwi Atmanti, Investasi di bidang sumber daya manusia adalah
sejumlah dana yang dikeluarkan dan kesempatan memperoleh penghasilan
selama proses investasi. Investasi ini berperan dalam memacu pertumbuhan
ekonomi. Investasi modal manusia melalui pendidikan di negara
berkembang sangat diperlukan walaupun investasi di bidang pendidikan
merupakan investasi jangka panjang secara malcro, manfaat dari investasi
ini bare dapat dirasakan setelah puluhan tahun.
Investasi
dapat dilakukan bukan saja pada fisik, tetapi juga pada bidang non
fisik. Investasi fisik meliputi bangunan pabrik dan perumahan karyawan,
mesin-mesin dan peralatan, serta persediaan (bahan mentah, barang
setengah jadi, dan barang jadi). Investasi non fisik meliputi
pendidikati, pelatihan, migrasi, pemeliharaan kesehatan dan lapangan
kerja. Investasi non fisik lebih atau lebih dikenal dengan investasi
sumber daya manusia adalah sejumlah dana yang dikeluarkan dan kesempatan
memperoleh penghasilan selama proses investasi. Penghasilan selama
proses investasi ini sebagai imbalannya dan diharapkan memperoleh
tingkat penghasilan yang lebih tinggi untuk mampu mencapai tingkat
konsumsi
yang lebih tinggi
pula. Investasi yang demikian disebut dengan human
capital (Payaman J. Simanjuntak, 1985). Istilah modal
manusia (human capital) ini
dikenal sejak tiga puluh tahun lalu ketika Gary S. Becker, seorang
penerima Nobel di bidang ekonomi membuat sebuah buku yang berjudul Human
Capital (Becker, 1964 dalam Agus Iman Solihin, 1995).
Setelah Theodore W. Schult dan ekonom lain mulai membahas
dampak investasi sumber daya manusia bagipertumbuhan ekonomi barulah hal
ini diperhatikan. Pembahasan mengenai masalah ini, hubungan investasi
sumber daya manusia dengan produktivitas mulai santer terutama setelah
munculnya Gary S. Becker dengan analisisnya mengenai Human
Capital tersebut (Warsito Jati, 2002).
Sumber daya manusia sebagai salah satu faktor produksi selain
sumber days alam, modal, entrepreneur untuk
menghasilkan output. Semakin tinggi kualitas sumber days manuals, maka
semakin meningkat pula efisiensi dan produktivitas suatu negara. Sejarah
mencatat bahwa negara yang menerapkan paradigma pembangunan berdimensi
manusia telah mampu berkembang meskipun tidak memiliki kekayaan sumber
daya alam yang berlimpah.
Penekanan pada
investasi manusia diyakini merupakan basis dalam meningkatkan
produktivitas faktor produksi secara total. Tanah, tenaga kerja, modal
fisik bisa saja mengalami diminishing
return, namun ilmu pengetahuan tidak. Robert M. Solow
menekankan kepada peranan ilmu pengetahuan dan investasi modal sumber
daya manusia dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Dad teori Solow ini
kemudian dikembangkan teori baru pertumbuhan ekonomi yang dikenal
sebagai The New Growth Theory. (H.
A. R. Tilaar, 2000)
Beberapa
faktor yang menyebabkan perlunya mengembangkan tingkat pendidikan di
dalam usaha untuk membangun suatu perekonomian, adalah :
1. Pendidikan yang lebih tinggi memperluas pengetahuan
masyarakat dan mempertinggi rasionalitas pemikiran mereka. Hal ini
memungkinkan masyarakat mengambil langkah yang lebih rasional dalam
bertindak atau mengambil keputusan.
2.
Pendidikan memungldnkan masyarakat mempelajari pengetahuan-pengetahuan
teknis yang diperlukan untuk memimpin dan menjalankan
perusahaan-perusahaan modern dan kegiatan-kegiatan modern lainnya.
3. Pengetahuan yang lebih baik yang diperoleh dari pendidikan
menjadi perangsang untuk menciptakan pembaharuan-pembaharuan dalam
bidang teknik, ekonomi dan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat
lainnya.
Dengan demikian
tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan dapat menjamin perbaikan yang
terus berlangsung dalam tingkat teknologi yang digunakan masyarakat.
Menyadari pentingnya peran pendidikan, maka dam tulisan ini akan dibahas
mengenai investasi sumber daya manusia melalui pendidikan
Asumsi dasar teori Human Capital adalah
bahwa seseorang dapat meningkatkan penghasilannya melalui peningkatan
pendidikan. Setiap tambahan satu tahun sekolah berarti, di satu pihak,
meningkatkan kemampuan kerja dan tingkat penghasilan seseorang, tetapi,
di pihak lain, menunda penerimaan penghasilan selama satu tahun dalam
mengikuti sekolah tersebut. Di samping penundaan menerima penghasilan
tersebut, orang yang melanjutkan sekolah harus membayar biaya secara
langsung. Maka jumlah penghasilan yang diterimanya seumur hidupnya,
dihitung dalam nilai sekarang atau Net Present
Value.
Telah diketahui bahwa
peningkatan mutu modal manusia tidak dapat dilakukan dalam tempo yang
singkat, namun memerlukan waktu yang panjang. Investasi modal manusia
sebenamya sama dengan investasi faktor produksi lainnya. Dalam hal ini
juga diperhitungkan rate of return (manfaatnya)
dari investasi pada modal manusia. Bila seseorang akan melakukan
investasi, maka ia harus melakukan analisa biaya manfaat (cost
benefit analysis). Biayanya adalah berupa
biaya yang dikeluarkan untuk bersekolah dan opportunity
cost dari bersekolah adalah penghasilan yang
diterimanya bila ia tidak bersekolah. Sedangkan manfaatnya adalah
penghasilan (return) yang akan
diterima di masa depan setelah masa sekolah selesai. Diharapkan dari
investasi ini manfaat yang diperoleh jauh lebih besar daripada biayanya.
Investasi dalam bidang pendidikan memiliki banyak fungsi
selain fungsi teknis ekonomis yaitu fungsi sosial-kemanusiaan, fungsi
politis, fungsi budaya dan fungsi kependidikan. Dalam fungsi teknis
ekonomis, pendidikan dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi (teori modal
manusia). Orang yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi, diukur
dengan lamanya waktu untuk sekolah akan memiliki pekerjaan dan upah yang
lebih baik dibandingkan dengan orang yang pendidikannya lebih rendah.
Apabila upah mencerminkan produktivitas, maka semakin banyak orang yang
memiliki pendidikan tinggi, semakin tinggi produktivitas dan hasil
ekonomi nasionalnya akan tumbuh lebih tinggi (Elwin Tobing, 2005).
Investasi pendidikan dalam fungsi sosial-kemanusiaan merujuk
pada kontribusi pendidikan terhadap perkembangan manusia dan hubungan
sosial pada berbagai tingkat sosial yang berbeda. Misalnya pada tingkat
individual pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan dirinya secara
psikologis, sosial, fisik dan membantu siswa mengembangkan potensinya
semaksimal mungkin (Yin Cheong Cheng dalam Nurkolis, 2002).
Pendidikan mempunyai fungsi sebagai human
resources yaitu mengembangkan kemampuannya memasuki era
kehidupan baru seperti kompetitif dan employability (H. A. R. Tilaar,
2000).
Kesimpulan
Sumber daya
manusia (SDM) atau human resources merupakan
sumber daya yang sangat penting dan menentukan jalannya suatu
organisasi. Untuk itu perlu dilakukan manajemen SDM, yang pada dasarnya
menyangkut; pengadaan pekerja, pemeliharaan pekerja dan pengembangan
pekerja. Adanya manajemen SDM diharapkan dapat meningkatkan prestasi
kerja dan produktivitas kerja, keadaan ini akan dapat dipertahankan
apabila diimbangi adanya sistem ganjaran (reward
system). Untuk memperoleh SDM yang berkualitas,
organisasi perlu senantiasa melakukan pengembangan pekerjanya melalui
pendidikan dan pelatihan, baik yang berupa off
the job side maupun on the job
side. Dengan adanya pelatihan / peningkatan
kualitas SDM atau yang telah kita bahas dengan istilah investasi di
bidang SDM, akan membuat karyawan tersebut memiliki kemampuan yang lebih
baik / bisa meng-explore dirinya sampai batas maksimal kualitas
dirinya. Dan tidak heran apabila perusahaan biasanya sebelum melakukan
investasi tersebut, terlebih dahulu mengadakan perjanjian ikatan dinas
(yaitu: selama masa waktu tertentu karyawan yang ingin diberikan
pelatihan dengan biaya ditanggung perusahaan) karena dengan meningkatnya
kemampuan / kompetensi seseorang maka akan meningkatkan
gaji/pendapatannya. Terkadang karena perusahaan tidak memberikan
peningkatan gaji tersebut maka karyawan ini mencari penawaran yang lebih
baik dari perusahaan lain. Inilah kendala / masalah yang dihadapi oleh
Divisi SDM dalam melakukan investasi SDMnya di bidang pendidikan. Di
satu sisi ingin meningkatkan pengetahuan dan kualitas kerja karyawan, di
sisi lain harus mengeluarkan biaya yang tidak murah untuk investasi /
memberikan pelatihan ini, juga masalah tuntutan untuk memberikan
gaji/upah yang sesuai dengan kompetensi karyawan.
Sampai
saat ini Perjanjian Ikatan Dinas merukan solusi yang baik, tetapi bukan
solusi terbaik. Karena karyawan mungkin saja tidak risign / keluar /
pindah ke perusahaan lain hanya karena ikatan tersebut (bukan karena
loyalitas). Dan terkadang banyak juga karyawan yang bersedia membayar
sanksi akibat melanggar ikatan dinas (biasanya berupa sanksi
administratif membayar sejumlah uang) karena mendapatkan tawaran gaji
yang lebih bagus dari perusahaan lain dan mungkin saja perusahaan
pembajak ini berani untuk membayar sanksi yang harus dibayar oleh
karyawan yang resign ini.
Reward and
Punishment harus diterapkan di dalam perusahaan yang ingin SDMnya tidak
hanya dianggap sebagai beban/biaya operasional perusahaan karena dengan
adanya sistem Reward and Punishment, setiap pekerja / karyawan akan
tertantang / termotivasi untuk bekerja dengan seluruh kemampuannya
dengan lebih giat, benar dan loyal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar